Status Desa tidak menjadikan Binjai tertinggal dalam proses pembangunan, sebagai pintu masuk ke ibukota Kabupaten Natuna untuk wilayah barat, Binjai mempunyai propspek yang sangat menjanjikan dalam hal pengembangan wilayah disudut barat di Pulau Bunguran. Hampir memasuki satu dasawarsa usia Kabupaten Natuna, geliat arus mobilitas masyarakat di Desa Binjai sangat ramai, tanpa disadari ada perputaran rupiah yang setiap hari beraviliasi dengan kegiatan mobilitas masyarakat. banyak sekali arus dana yang dikeluarkan oleh masyarakat ketika melalui kawasan ini, dan disinilah transaksi jual beli barang dan jasa sangat terasa. Seperti diketahui Kawasan Bagian Barat yang notabenenya sudah dikenal sebagai kota perdagangan dan jasa, sangat memberi dampak yang positif terhadap arus barang yang masuk dari wilayah barat menuju ibukota kabupaten, Ranai.
Nah setelah kita berbicara potensi ekonomi yang ada di wilayah Binjai, ada suatu hal yang saya rasakan ketika berada wilayah Binjai ini khususnya di Pelabuhan Binjai. Di pelabuhan inilah ajang bertemunya warga bagian barat . Sudah dipastikan betapa gembiranya bertemu dengan kenalan, keluarga, dan handaitaulan. Sambil menantikan kapal ferry yang akan ditumpangi, perbincangan, perbualan, pembicaraan, sapa menyapa, salam menyalam pun mewarnai penantian ini. Boleh bisa dikatakan rasa persaudaran akan jati diri warga bagian barat sangat kental dan bersahaja. Celoteh khas yang kadang-kadang sangat menghibur bisa dijadikan obat rasa languk. Yang pasti tidak ada rasa asing, semua terasa bagaikan sebuah keluarga besar...rasa bangga menjadi bagian dari masyarakat bagian barat menyelipkan rasa syukur kalau kita ternyata berada dalam warga yang sangat kritikal dan bersahaja.
Lalu saya berpikir, kenapa hal seperti ini sangat jarang dilakukan selama berada di Kota Ranai? perlu dimaklumkan, kita tidak bisa menyamakan kehidupan dikota-kota besar lainnya, mungkin apa yang saya pikirkan adalah hal yang biasa, namun untuk ukuran sebuah kota Ranai , pola persaudaraan yang berlaku di Pelabuhan Binjai sangat jarang terjadi di Kota Ranai, seakan-akan telah menjadi warga lain yang serba acuh. Ini sangat berbeda dengan warga lain yang tampak selalu mengutamakan keutuhan persaudaraan dan saling peduli walaupun mereka dirantau. Mungkin terasa naif bila saya punya pikiran begitu, tetapi mari kita saling intropeksi diri...lalu bagaimana kita memungut tali persaudaraan yang terasa sudah di ujung kelonggaran? perlu adanya forum komunikasi, dengan komunikasi, maka pemikiran mengedepankan persaudaraan dan kepedulian akan tumbuh dan semangat itu akan terus menjadi besar dan mempunyai harga marwah yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Atau harta, kedudukan dan kekuasaan begitu mudah melunturkan rasa persaudaraan, saling sapa dan saling peduli kita? Apa kekurangan yang selama ini menemani hidup harus dibalas dengan sikap acuh ketika kecukupan menghampiri? Naif dan norak sekali. Justru kita belajar dari apa yang kita miliki sekarang, berbagi atas kesuksesan dan kelebihan yang dimiliki . Mari kita belajar dengan orang-orang yang punya harta, kedudukan, kekuasaan di Kabupaten Lain yang ternyata lebih menghargai rasa persaudaraan dan kepedulian itu. Dan dengan melunturnya rasa persaudaraan dan rasa kepedulian, maka yang terjadi berikutnya adalah hilangnya rasa kebanggaan akan wibawa wilayah bagian barat yang kita alu-alukan itu.
1 komentar:
Awn rasa perlu dibuat semacam paguyuban, ikatan persaudaraan orang2 sedanau di ranai, biar agak akrab. Misalnya arisan dan pengajian sebulan sekali secara bergilir dari satu rumah ke rumah yang lain.
Posting Komentar